Kamis, 24 Maret 2011

sistem pemasaran gabah

ANALISIS SISTEM PEMASARAN GABAH/BERAS
(Studi Kasus Petani Padi di Sumatra Utara)


PENDAHULUAN

Pemasaran memiliki fungsi yang sangat penting dalam menghubungkan produsen dengan konsumen dan memberikan nilai tambah yang besar dalam perekonomian. Panglaykim dan Hazil (1960) menyatakan bahwa terdapat sembilan macam fungsi pemasaran yaitu: perencanaan, pembelian, penjualan, transportasi, penyimpanan, standarisasi dan pengelompokan, pembiayaan, komunikasi, dan pengurangan resiko (risk bearing). Sebagai perusahaan, tataniaga sama pentingnya dengan kegiatan produksi karena tampa bantuan sistem tataniaga, petani akan merugi akibat barang-barang hasil produksinya tidak dapat dijual. Sistem distribusi pangan dari produsen ke konsumen dapat terdiri dari beberapa rantai tataniaga(marketing channels) dimana masing masing pelaku pasar memberikan jasa yang berbeda. Besar keuntungan setiap pelaku tergantung pada struktur pasar di setiap tingkatan, posisi tawar, dan efisiensi usaha masing-masing pelaku. Dalam upaya peningkatan efisiensi usaha, diperlukan studi mengenai system pemasaran dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap pelaku pemasaran. Secara rinci, penelitian bertujuan untuk:(i)menggambarkan keragaan alur pemasaran gabah/beras mulai dari petani (produsen) sampai konsumen akhir, (ii)menganalisis komponen biaya dan margin pemasaran pada setiap pelaku pemasaran, dan (iii)mengidentifikasi karakteristik dan permasalahan pada setiap pelaku pemasaran. Hasil penelitian diharapkan menjadi bahan kebijakan dalam perbaikan system pemasaran gabah/beras nasional terutama di Propinsi Sumatra Utara.




Mata Rantai Pemasaran Gabah/Beras

Di Propinsi Sumatra Utara, struktur aliran tataniaga gabah/beras pada garis besarnya ditemukan dua aliran, yaitu: (I) saluran pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul sebagai kaki tangan pedagang kongsi. Dari pedagang pengumpul, gabah ditampung, dikelompokan menurut jenis varietas dan disalurkan oleh pedagang kongsi ke pedagang kilang. Dari pedagang kilang, gabah mulai mengalami perlakuan meliputi proses pengeringan, penggilingan dan grading 3 beras. Beras yang telah dikemas dan diberi label selanjutnya disalurkan ke pedagang grosir. Dari grosir disalurkan ke pengecer-pengecer untuk dijual ke konsumen; dan (II) saluran pemasaran kedua, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul yang merupakan kaki tangan pemilik penggilingan desa. Di penggilingan desa, gabah mengalami proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Selanjutnya beras dikemas dengan tampa diberi label dan disalurkan ke pengecer desa untuk dijual ke konsumen. Mayoritas petani (85%) menempuh saluran pemasaran pertama dan sisanya (15%) menempuh saluran pemasaran kedua.















Beras kilang pada umumnya mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan beras penggilingan lokal sehingga produk mereka dapat menguasai konsumen tingkat kabupaten. Sebaliknya beras penggilingan desa hanya mampu menembus konsumen local. Untuk meningkatkan volume penjualan, penggilingan desa mengadakan kontrak pengadaan beras dengan pihak tertentu untuk memenuhi kebutuhan karyawan (negri maupun swasta) yang jatah beras dari sub-dolog sudah berhenti, rata-rata jumlah kontrak sekitar 3,0-4,0 ton beras per musim.

Komponen Biaya dan Margin Pemasaran


Kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan pada umumnya merupakan tiga fungsi utama dari tataniaga disamping fungsi pembiayaan (financing). Tabel 1 menunjukan bahwa pada rantai pemasaran pertama (I), jenis pembiayaan utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir, dan pedagang pengece hampir sama meliputi biaya transportasi dan bongkar muat. Besar pembiayaan masing-masing adalah pedagang pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir (Rp.17,-), dan pedagang pengecer (Rp.22,-) per kilogram beras. Jumlah biaya pemasaran paling tinggi terjadi pada pedagang kilang, yaitu Rp.127,- per kilogram beras. Besarnya pembiayaan tersebut dikarenakan di pedagang kilang gabah mulai mendapatkan perlakuan penting meliputi proses pengeringan, penggilingan, pengemasan disamping biaya transportasi dan bongkar muat. Margin pemasaran (marketing margin) paling tinggi berturut-turut terjadi pada pedagang kilang (7,6%), pedagang pengumpul/kongsi (6,7%), pedagang pengecer (1,8%), dan grosir (1,2%). Meskipun margin keuntungan (net benefit margin) di kilang hanya mencapai Rp.89,-/kg, tetapi jumlah volume penjualanya paling besar yaitu sekitar 1.500-2.000 ton beras per musim.

Pada pedagang kilang, diduga sering terjadi pengeplosan beras lokal dengan beras impor yang harganya 16,7% lebih murah dibandingkan beras local (Rp.2.800,- /kg) dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing pemasaran melalui penurunan harga. Tidakan ini perlu diteliti dan apabila benar perlu diperbaiki untuk melindungi keberadaan penggilingan padi local (village rice milles). Pada rantai pemasaran kedua (II), harga jual gabah petani lebih tinggi 5,9% dibandingkan dengan rantai pemasaran pertama karena gabah dibeli dari para petani disekitar pabrik penggilingan (village rice milles) sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi tinggi dan kualitas gabah umumnya lebih baik. Seperti pada rantai pemasaran pertama, jenis pembiayaan yang dikeluarkan setiap pelaku pasar hamper sama. Pada rantai pemasaran ini, margin pemasaran terbesar terjadi pada penggilingan desa sebanyak 7,4 persen sementara pengumpul dan pengecer masing-masing 2,5 dan 1,8 persen (Table 2).
Di tingkat pengecer, harga beras penggilingan hanya Rp.2.830,-/kg atau 0,7
persen lebih rendah dibandingkan harga beras kilang. Perbedaan dikarenakan mutu beras penggilingan umumnya lebih rendah dibandingkan produk kilang, terutama dari aspek warna kurang putih serta tingginya persentase kandungan bekatul dan beras pecah. Kualitas beras kilang lebih baik dikarenakan pedagang kilang memiliki fasilitas pengolahan gabah/beras lebih baik dibandingkan penggilingan desa. Pada tingkat pasar kabupaten, produk mereka kalah bersaing dengan beras kilang sehingga penggilingan desa hanya menyalurkan beras ke pengecer local dan pihak-pihak yang telah mengadakan kontrak pengadaan beras (karyawan). Tabel 2 menginformasikan, bahwa penggilingan desa memperoleh margin keuntungan paling tinggi yaitu sebanyak Rp.85,-/kg sedangkan pedagang pengumpul dan pengecer masing-masing hanya mencapai Rp.48,- dan Rp.28,-/kg.






Kesimpulan

1. Struktur aliran tataniaga gabah/beras pada garis besarnya ditemukan dua aliran, yaitu: (I) saluran pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul sebagai kaki tangan pedagang kongsi. Dari pedagang pengumpul, gabah disalurkan oleh pedagang kongsi ke pedagang kilang. Dari pedagang kilang, gabah mulai mengalami perlakuan meliputi proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Beras yang telah dikemas disalurkan ke pedagang grosir, dari grosir disalurkan ke pengecer-pengecer untuk dijual ke konsumen; dan (II) saluran pemasaran kedua, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul yang merupakan kaki tangan pemilik penggilingan desa. Di penggilingan desa, gabah mengalami proses pengeringan, penggilingan dan grading beras. Selanjutnya beras dikemas dan disalurkan ke pengecer desa untuk dijual ke konsumen. Mayoritas petani (85%) menempuh saluran pemasaran pertama dan sisanya (15%) menempuh saluran pemasaran kedua. 2. Jenis pengeluaran utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir dan pedagang pengecer hampir sama meliputi biaya transportasi dan bongkar muat. Pada saluran pemasaran I besar biaya pemasaran pedagang pengumpul/kongsi (Rp.42,-), grosir (Rp.17,-), dan pedagang pengecer (Rp.22,-) per kilogram beras. Jumlah biaya pemasaran paling tinggi terjadi pada pedagang kilang, yaitu Rp.127,- per kilogram beras. Margin pemasaran (marketing margin) paling tinggi berturut-turut terjadi pada pedagang kilang sebanyak 7,6%, pedagang pengumpul/kongsi 6,7%, sedangkan pedagang grosir dan pengecer masing-masing 1,2 dan 1,8%. Margin keuntungan (net benefit margin) di kilang mencapai Rp.89,-/kg. Pada saluran pemasaran II, margin pemasaran terbesar terjadi pada penggilingan desa sebanyak 7,4 persen sementara pedagang pengumpul dan pengecer masing-masing 2,5 dan 1,8 persen. 3. Permasalahan utama banyak ditemukan di tingkat petani sebagai produsen gabah yaitu kelemahan permodalan sehingga terjerat ke pihak pelepas uang (money lender). Disamping itu mayoritas petani (95%) menjual gabah langsung setelah panen sehingga harga jual gabah jatuh.

mangga

KINERJA DAN PROSPEK PEMASARAN KOMODITAS MANGGA
(Studi kasus petani mangga di Propinsi Jawa Barat)

PENDAHULUAN
Mangga (Mangifera indica) termasuk komoditas buah unggulan Nasional yang mampu berperan sebagai sumber vitamin dan mineral, meningkatkan pendapatan petani, serta mendukung perkembangan industri dan ekspor. Pada tahun 2003, volume ekspor mangga
Indonesia mencapai 559 ribu ton atau setara dengan 461 ribu US$ sedangkan volume impor mencapai 348 ribu ton atau setara dengan 329 ribu US$. Jadi volume ekspor mangga Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan volume impor sebanyak 211 ribu ton atau setara dengan 132 US$ (Ditjen Hortikultura, 2004). Pengembangan mangga Nasional diarahkan ke wilayah-wilayah sentra produksi yang sudah dikenal, paling luas berturut-turut ke wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, dan NTT.
Selama sembilan tahun (1993-2001) laju pertumbuhan 3 luas panen menunjukan kenaikan sebanyak 0,20 persen, sedangkan laju produktivitas dan produksi menurun masing-masing 2,01 persen dan 1,79 persen per tahun. Sekarang, komoditas pertanian Indonesia termasuk mangga sudah memasuki era perdagangan bebas, status pasarnya sudah mendunia, persaingan pemasaran tidak terbatas pada Negara ASEAN (AFTA) tetapi secara frontal sudah masuk ke pasar Internasional. Produk mangga Indonesia harus bersaing dengan mangga dari Negara lain seperti mangga Thailand, Philipina, India, Meksiko, Brazil dan Australia. Lebih jauh, arena persaingan tidak saja terjadi di pasar ekspor/luar negri tetapi juga terjadi di pasar dalam negri terutama pasar moderen seperti supermarket, hypermarket, fruitshop, hotel berbintang, dan usaha katering, sejalan dengan terbukanya pintu impor mangga luar (Sumarno, 2003). Dalam upaya meningkatkan daya saing pemasaran, baik di pasar dalam negri maupun pasar internasional, tidak ada jalan lain bagi petani mangga Indonesia melainkan harus bekerja keras, menyediakan produk melimpah dengan mutu tinggi dan diproduksi dengan biaya efisien. Kusumo (1989) menginformasikan bahwa selama ini upaya pemasaran mangga Indonesia menjumpai beberapa permasalahan yaitu produk tidak seragam ukurannya, penampilan kurang menarik, tingkat kematangan tidak menentu, kehilangan hasil sekitar 5-15 persen, dan belum ada karakterisisasi patologi untuk menentukan perlakuan pasca panen/pestisida. Penelitian ini secara rinci bertujuan untuk : (a) mengidentifikasi karakteristik petani dan teknik budidaya mangga, (b) menganalisis kelayakan ekonomi usahatani mangga, (c) mempelajari saluran pemasaran dan perilaku lembaga pemasaran dan (d) menganalisis margin pemasaran dan bagian harga yang diterima petani (Farmers share). Hasil penelitian merupakan informasi penting, bahan masukan pengembangan komoditas mangga supaya lebih mampu bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional.

Karakteristik petani dan Budidaya Mangga
Karakteristik petani.

Keberhasilan usahatani sangat ditentukan oleh karakteristik petani sebagai pelaku usahatani, pembuat dan pengambil keputusan dalam menjalankan kegiatan usahatani. Karakteristik petani terkait dengan keberhasilan usahatani terutama menyangkut aspek umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama dan luas penguasaan lahan usahatani.
Karakteristik petani Persentase
(%)
1. Kelompok umur kepala keluarga (KK)
a. 26 – 40 Th
b. 41 – 51 Th
c. 56 – 69 Th
2. Tingkat pendidikan KK
a. Buta huruf
b. 1 – 9 Th
c. 10 – 17 Th
3. Pekerjaan utama KK
a. Usahatani mangga
b. Usahatani pangan
c. Lainnya1)
4. Luas penguasaan kebun
a. 0,10 – 1,07 Ha
b. 1,08 – 2,06 Ha
c. 2,07 – 3,09 Ha
5. Status penguasaan kebun
a. Milik
b. Bukan milik (sewa dan kontrak)
c. Campuran2
64,0
20,0
16,0

4,0
76,0
16,0

80,0
8,0
12,0

76,0
12,0
12,0

44,0
12,0
44,0
Tabel 2 menginformasikan, bahwa karakteristik petani relatif cukup baik dalam mendukung upaya pengembangan produksi mangga atau penerimaan inovasi baru. Mayoritas umur petani termasuk usia produktif (84%), berpendidikan (94%) dan mempunyai pekerjaan utama dibidang budidaya mangga (89%). Beberapa aspek yang kurang menguntungkan, yaitu masih ditemukan petani buta huruf (4%), kepemilikan lahan masih sempit (76%) dan status penguasaan lahan sewa/kontrak (12%). Petani berlahan sempit umumnya lemah dalam pembentukan modal, sehingga sering terjerumus pinjaman ke pelepas uang atau mereka terpaksa harus menyewakan/mengontrakan lahan kebunnya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak. Petani berstatus sewa dan kontrak pada umumnya akan mengeksploitasi tanaman supaya menghasilkan banyak, menggunakan zat perangsang bunga “goldstar” tetapi tidak diikuti dengan pemupukan yang memadai akibatnya pertumbuhan tanaman pada musim berikutnya akan merana bahkan produksinya turun drastis (Diperta Kabupaten Majalengka, 2004).



Karagaan Budidaya Mangga.
Jenis-jenis mangga utama yang diusahakan petani ada tiga yaitu arumanis, gedong dan dermayu (cengkir) sedangkan jenis lainnya dimasukan sebagai mangga sampingan dikenal dengan nama lokal “mangga rucah” seperti golek, manalagi, bapang, dan kidang. Tabel 3 menginformasikan, bahwa populasi tanaman mangga mencapai 94 pohon per hektar terdiri atas tanaman menghasilkan (86,2%), tanaman belum menghasilkan (13,8%) sedang tanaman rusak tidak ditemukan karena petani selalu melakukan rehabilitasi tanaman. Mangga pertama kali diusahakan di pekarangan dan kebun, sedangkan penanaman mangga di lahan sawah mulai berkembang sekitar tahun 1980-an.
Tanaman asal biji paling banyak merupakan tanaman warisan orang tua dimana waktu itu peranan Balai Benih belum cukup baik. Petani lebih menyukai menanam bibit biji untuk jenis dermayu karena jenis ini tidak mengalami perubahan berarti dari induknya, baik dari segi cita rasa maupun bentuk. Di lahan pekarangan dan kebun banyak ditemukan tanaman gedong dan demayu yang berumur tua (70 tahun-an) dengan ketinggian di atas 25 meter. Pohon-pohon demikian akan menyulitkan dalam pemeliharaan terutama pengemdalian HPT, panenan dan menaikan curahan tenaga kerja sehingga kualitas mangga yang dihasilkan dan efisiensi produksi sulit dicapai. Tanaman mangga pada umumnya sudah memasuki usia produktif, kegiatan usahatani mangga terdiri atas rehabilitasi tanaman rusak, penyiangan, pemupukan, pengendalian HPT, pemangkasan, panen/angkut dan pemasaran hasil. Jumlah curahan tenaga kerja untuk masingmasing kegiatan adalah 2,0 HOK (rehabilitasi), 21,1 HOK (penyiangan), 13,5 HOK (pemupukan), 17,2 HOK (pengendalian HPT), 3,7 HOK (pemangkasan), dan 23,0 HOK (panen/angkut) per tahun.
Petani sangat menyukai penggunaan pupuk kandang, NPK dan Zat Perangsang bunga ”goldstar”. Pupuk kandang sangat diminati karena dapat memberikan manfaat ganda yiatu disamping menyediakan hara tanaman juga dapat memperbaiki kondisi fisik dan mikroorganisme tanah. Pupuk NPK dapat menyediakan tiga unsur hara (N,P dan K) dalam satu kali aplikasi sedangkan zat perangsang bunga untuk meningkatkan jumlah produksi dan mempercepat masa pembungaan. Jenis Hama Penyakit Tanaman (HPT) yang sering menimbulkan kerugian yaitu; (a) penggerek cabang, (b) lalat buah (Dacus dorsalis), (c) pengerek buah, (d) kalong, dan (e) kelelawar. Sedangkan jenis penyakitnya adalah benalu (Lauranthaceae sp.). Untukmengendalikan hama penyakit petani melakukan penyemprotan antara empat sampai tujuh kali per tahun menggunakan pestisida kimia seperti Sevin, Tetrin, Furadan, Blimer, dan lainnya. Khusus untuk kalong dan kelelawar petani menggunakan obat temik yang dikenal dengan nama daerahnya “tali kambing”, dengan cara dimasukan kedalam buah mangga matang dan diumpankan di pohon mangga..

Kelayakan Ekonomi Usaha tani Mangga
Tujuan utama petani mengelola usahatani adalah untuk mendapatkan penerimaan kotor sebesar-besarnya dengan menekan pengeluaran sekecil mungkin sehingga petani akan memperoleh pedapatan bersih yang tinggi. Hasil analisis partial menunjukan bahwa dalam satu tahun produksi, usahatani mangga mengeluarkan biaya Rp.6.488 ribu per hektar per tahun, dialokasikan paling banyak untuk kebutuhan sarana produksi (48,9%), upah tenaga kerja (41,0%), pengadaan pestisida (8,9%), dan biaya lainnya (1,1%). Nilai penerimaan kotor Rp.30.130 ribu dan pendapatan A (ongkos tenaga kerja keluarga diperhitungkan) mencapai Rp.23.641 ribu sedangkan pendapatan B (ongkos tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan) nilai pendapatan menjadi lebih besar yaitu Rp.24.654 ribu per hektar per tahun. Usahatani mangga termasuk layak secara ekonomi karena mempunyai nilai R/C rasio 4,64 artinya setiap pengeluaran Rp.1,- akan memberikan penerimaan sebanyak Rp.4,64,-
Di tingkat lapangan ditemukan beberapa permasalahan menghambat peningkatan produksi dan kualitas mangga, yaitu: (a) produksi mangga sangat tergantung pada kondisi curah hujan, kalau musim berbunga terjadi hujan besar tiga kali dapat menurunkan produksi mangga sampai 40 persen, (b) lokasi kebun terpencar-pencar dan sebagian besar (76%) sekala usahatani tergolong sempit, (c) adanya penjualan sistem sewa dan kontrak yang menyebabkan tanaman mangga rusak. Sedangkan pendapatan usahatani mangga sangat tergantung kepada harga jual yang cukup fluktuatif. Harga rendah terjadi pada waktu panen raya (mulai pertengahan Oktober sampai Desember) sedangkan harga tinggi terjadi pada waktu awal dan akhir musim panen.

Rantai Pemasaran dan Perilaku Lembaga Pemasaran
Rantai pemasaran.
Dalam pemasaran mangga dari petani sampai konsumen ditemukan banyak pelaku pasar (lembaga pemasaran) terdiri atas pedagang pengumpul, pengepul (agen), pedagang pasar induk, suplayer, pengecer pasar tradisional, toko/kios buah, pasar moderen (supermarket) dan eksportir. Gambar 1 menunjukan bahwa ada tujuh rantai saluran pemasaran dalam menyalurkan produk mangga, yaitu:

1. Petani → Pengumpul → Agen → Pasar induk → Pasar tradisional → Konsumen
2. Petani → pengumpul →Agen → Pasar induk → Toko/Kios buah → Konsumen
3. Petani → Pengumpul → Agen →Pasar induk → Suplayer → Pasar modern →Konsumen
4. Petani → Pengumpul → Agen → Pasar induk → Suplayer → Eksportir → Konsumen
5. Petani → Pengumpul → Agen → Suplayer → Pasar modern → Konsumen
6. Petani → Pengumpul → Agen → Suplayer → Eksportir → Konsumen
7. Petani → Pengumpul → Agen → Pasar tradisional lokal → Konsumen
Jangkauan pemasaran mangga Majalengka tidak hanya ke wilayah Jawa Barat tetapi juga ke wilayah luar Jabar seperti DKI.Jakarta, Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Pemasaran ke luar Jawa Barat digambarkan pada saluran pemasaran keempat, kelima dan keenam. Karena keterbatasan, penelitian ini hanya membahas pemasaran mangga di wilayah Jawa Barat, yaitu saluran pemasaran pertama, kedua, ketiga dan ketujuh. Petani menjual mangga ke pengumpul dalam bentuk hasil panen seadanya dikenal dengan nama daerah ”bentuk rucahan”, campuran berbagai jenis mangga, ukuran dan tingkat kematangan buah. Selanjutnya oleh pengumpul dilakukan sortasi berdasarkan varietas, ukurandan kematangan, dihasilkan mangga grade (A dan B) sebanyak 70 persen dan sisanya dinamakan mangga rucah (grade C) 30 persen. Pedagang agen merupakan titik awal pendistribusian mangga, mereka menjual mangga grade A dan B dalam satu kelas (grade A/B) dijual ke pedagang pasar induk dan suplayer sedangkan grade C dijual ke pasar tradisional lokal yang tersebar di Majalengka, Sumedang, Cirebon dan Indramayu. Dari pasar induk, mangga A/B dijual ke beberapa pedagang pengecer tradisional, toko/kios buah dan suplayer pasar modern. Petani tidak bisa menjual langsung ke pasar induk karena ada persyaratan yang sulit dipenuhi seperti jumlah volume penjualan dan kontinyuitas pengiriman sedangkan penjualan langsung ke suplayer terkendala oleh ketidaktahuan prosedurnya. Pedagang agen tidak bisa menjual mangga langsung ke pasar modern (supermarket) karena harus dilakukan oleh perusahaan yang terdaftar sebagai suplayer sedangkan penjualan langsung ke pedagang pasar tradisional dan toko/kios buah terkendala oleh kecilnya volume pembelian pedagang pengecer.

Perilaku lembaga pemasaran.
Pedagang pengumpul merupakan kaki tangan pedagang agen, satu pengepul mempunyai 5 sampai 10 pedagang pengumpul yang berlokasi sampai ke luar kecamatan. Peranan pedagang pengumpul sangat penting terutama untuk memperlancar dan memperluas jangkauan pembelian. Untuk mengikat langganan pembelian, agen bekerjasama dengan pengumpul memberikan bantuan uang ke para petani yang membutuhkan baik untuk kebutuhan usahatani maupun untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai konsekuensinya, petani secara lidak langsung harus menjual hasil panen kepada pihak mereka. Petani menghadapi struktur pasar bersaing tidak sempurna, ditandai dengan jumlah penjual banyak sedangkan pembelinya sedikit, informasi pasar petani masih lemah dan harga jual mangga paling kuat ditetapkan oleh pembeli (pengumpul). Petani umumnya memperoleh informasi harga mangga dari beberapa petani lain yang sudah menjual dan dari pedagang setempat.

Marjin Pemasaran dan Bagian Harga yang Diterima Petani
Margin pemasaran merupakan selisih harga antara harga jual petani dengan pelaku pasar diatasnya. Tabel 9 menginformasikan bahwa semakin panjang rantai pemasaran semakin besar nilai margin pemasaran. Dalam pemasaran mangga grade A/B, saluran pemasaran ketiga merupakan saluran paling panjang dan memberikan margin pemasaran Rp.5.588,- terdiri atas biaya pemasaran Rp.932,- dan margin keuntungan Rp.4.656,-. Sedangkan saluran pemasaran kesatu dan kedua merupakan saluran pemasaran lebih pendek dan memberikan margin pemasaran masing-masing Rp.3.588,- dan Rp.3.838,-
Pada pemasaran grade A/B, pedagang agen selalu mendapatkan margin keuntungan paling tinggi dibandingkan pelaku pasar lainnya, yaitu masing-masing sebanyak Rp.1.504,-. Hal ini dikarenakan disamping biaya pemasaran yang dikeluarkan agen paling besar juga mereka menanggung resiko besar akibat pembayaran system komisi oleh pedagang pasar induk dan untung rugi sangat tergantung pada perkembangan harga yang cukup fluktuatip. Untuk pemasaran mangga grade C, marjin keuntungan tertinggi terjadi pada pedagang pengecer pasar lokal karena mereka mengambil mangga langsung dari agen.

solusi kemiskinan dan pengangguran

Solusi kemiskinan dan pengangguran
Angka kemiskinan dan pengangguran yang Saling berlomba perlu disikapi dengan melihat petensi perbaikan taraf hidup rakyat melalui konsep sederhana namun efektif. Perebncanaan yang rumit biasanya hanya indah di kertas visi dan misi, tetapi sulit dilaksanakan karena terlalu tinggi. Oleh karena itu , kita perlu membuatnya lebih sederhana. Yang diperlukan hanyalah kemauan(pemerintah). Selain itu,mengingat kemampuan financial penduduk miskin dan pengangguran yang terbatas, maka penggerakan ekonomi mereka akan lebih efektif apabila diarakan ke sector usaha mikro dan kecilm termasuk sector informal.

1. Manajemen sector informal
Sector informal adalah kelompak /individu masyarakat yang mencari nafkah di sector yang tidak langsung dikelola oleh anggaran pemeintah bukan subsidi.termasuk dalam sector ini adalah seluruh usaha rumah tangga, individu dan kelompok yang tidak berupa unit usaha terdaftar.
Secara agregat mereka menyediakan jasa yang signifikan yang tidak disajikan oleh sektor formal.. oleh karena itu keberadaan mereka cukup penting, yang haru sdilakukan pemerintah adalah mengelola keberadaan mereka,sehingga keindahan keasrian dan keamanan kota tidak tercemar karena ketidaktertiban. Manajemen sector informal di kategorikan sebagai alternative solusi terbaik dari sisi pengurangan pengangguran dan kemiskinan yang secara relative tidak dapat didekati oleh percepatan penciptaan tenaga kerja formal. bahkan sector informal diangkat sebagai salah satu sumber atraksi pariwisat eksotis di suatu wilayah dengan pengelolaan berciri khusus.
Pemberian lahan khusus berupa area public (mal terbuka ) adalah salah satu solusi terbaik, mereka tidak harus berusaha sepanajang hari melainkan dapat bergantian dengan sector formal lain. Misalnya siang meruipakan jalan umum bagi usaha pedagang menengah-besar dan malam untuk sector informal. Pengelolaan sector informal dapat diintegrasi dengan sector formal pariwisata.


2. Pengembangan sentra dan pembinaan usah mikro dan kecil
Masalah yang mengemuka pada pembangunan usah mikro dan kecil, antara lain adalah kesulitan dalam teknis produksi, pemasaran, modal, dan manajemen usah atermasuk keuangan. Di sisi pemerintah pendekatan kebijaksanaan kepada sector usaha mikro dan kecil secara paripurna masih jauh dari memadai. Mereka membutuhkan lebih banyak ketrampilan untuk mengatasi masalah- masalah dalam usaha.
Pengusaha mikro dan kecil kurang memiliki eksposur mengenai kiat berusaha yang baik, termasuk mengelola uang dan menyusun manajemen produksi mereka. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah benar-benar mengelola pengusaha mikro dan kecil ini secara professional. Ini menjadi kewajiban pemerintah, karena ekonomi berbasis kerakyatan memang tumbuh dan perlu ditangani serius pemerintah. Pembangunan sentra industri kecil perlu dilakukan di kabupaten/kota dengan tenaga ahli.

3. Kewirausahaan social
Kewirausahaan social adalah suatu wadah bagi sector bisnis dan masyarakat agar bias bekerja secara bersamaan. Dengan makna yang lebih dalam, setiap orang bias menjadi agen perubahan yang bias meningkatkan kesejahteraan rakyat.tanggung jawab seorang wirausahawan sangat berat bukan hanya perubahan social yang harus di ciptakan, tetapi ia juga harus mampu mengubah system yang berlaku dalam masyarakat.seseorang dapat dinilai sebagai seorang wirausahawan social jika dia dapat melakukan perubahan kondisi social melalui inovasi-inovasi.
Inovasi social diukur dari seberapa besar unsure kebaruan yang dikreasikan seseorang dalam memberikan dampak terhadap kehidupan social masyarakat.ide baru dalam wirausahawan social bukan sekedar terbatas pada kredit mikro ,tetapi juga merambah semua sector usaha dan aspek kehidupan.

Manajemen ritel

MANAJEMEN RITEL






DI SUSUN OLEH :

ROSSY A. (31208551)
3 DD 03











UNIVERSITAS GUNADARMA
2011





RETAIL


1. SUMBER DAN PRODUK LINI
sebuah proses pemabrikan di mana bagian-bagian (biasanya yang memiliki suku cadang) suatu produk dirakit dan digabungkan satu persatu dengan urutan tertentu hingga menjadi produk akhir. Proses ini menghasilkan tingkat produksi yang lebih cepat daripada metode biasa, di mana untuk membuat satu produk jadi, seluruh bagian produk tersebut dirakit oleh satu orang ahli. Bentuk paling terkenal dari konsep lini perakitan adalah lini perakitan-bergerak
Banyaknya Product line
a. General merchandise store
Toko yang menjual berbagai macam barang/berbagai produk line.
b. Single-line store
Penggolongan ini didasarkan atas jenis produk line-nya
c. Specialty store
Barang yang dijual terbatas, hanya meliputi sebagian dari produk line saja

2. PEMBERDAYAAN PERDAGANGAN RITEL
Retail atau eceran merupakan semua kegiatan penjualan barang dan jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk pemakaian pribadi dan rumah tangga, bukan untuk keperluan bisnis. Bila institusi pabrikan, wholesaler atau retail store menjual sesuatu kepada konsumen akhir untuk pemakaian nonbisnis, maka berarti mereka telah melakukan penjualan eceran. Ada empat fungsi utama retailing, yaitu:
1. Membeli dan menyimpan barang.
2. Memindahkan hak milik barang tersebut kepada konsumen akhir.
3. Memberikan informasi mengenai sifat dasar dan pemakaian barang tersebut.
4. Memberikan kredit kepada konsumen (dalam kasus tertentu).
Adapun yang dimaksud dengan retailer atau retail store adalah perusahaan yang fungsi utamanya menjual produk kepada konsumen akhir untuk pemakaian pribadi dan rumah tangga. Penekanan pada fungsi utama tertentu ini untuk menunjukkan bahwa retailer merupakan lembaga yang dapat berdiri sendiri. Pemanufaktur dan petani juga dapat bertindak sebagai retailer, namun fungsi utama rnereka bukanlah menjual produk ke konsumen akhir melainkan memproduksi suatu barang dan bertani. Pengecualian diberikan pada service retailing di mana retailer dalam hal ini juga adalah produsen.

3. KEUNGGULAN PERDAGANGAN RITEL
1. Harga.
Ada retail store yang memasang harga mati seperti supermarket dan departement store) dan ada pula yang menetapkan harga fleksibel atau dapat ditawar (seperti discount store).
2. Kemudahan
Kemudahan parkir, bisa cepat pergi setelah membayar, dan mudah mencari barang yang diinginkan (meliputi proses menemukan, membandingkan, dan memilih).
3. Kualitas produk yang ditawarkan.
4. Bantuan wiraniaga.
Apakah harus swalayan, membantu ecara pasif, atau membantu secara aktif.
5. Reputasi Kejujuran dan kewajaran dalam jual beli
6. Nilai yang ditawarkan
Yaitu perbedaan total customer value dan total customer cost. Total customer value adalah sekumpulan manfaat yang diharapkan pelanggan dari produk dan jasa, meliputi product value (misalnya keandalan, daya tahan/keawetan, unjuk kerja), service value (penyerahan barang, pelatihan, instalasi, perawatan, reparasi), personnel value (kompeten, responsif, empati, dapat dipercaya), dan image value (citra perusahaan). Sedangkan total customer cost terdiri dari harga yang dibayarkan, biaya waktu, biaya tenaga, dan biaya psikis.
7. Jasa-jasa khusus yang ditawarkan.
Pengiriman barang gratis, pembelian kredit dan bisa mengembalikan atau menukar barang yang sudah dibeli.

4. KEBIJAKAN HARGA PERDAGANGAN RITEL
Kebijakan Harga (pricing poticy)

Harga dari para pengecer merupakan faktor bersaing utama dan mencerminkan kualitas barang produk yang di_ jual dan pelayanan yang diberikan. Biaya barang dagar.rgan merupakan dasar dan kecerdikan pengecer membeli dagangannya merupakan dasar harga,juga merupakanunsur penting dalam penjualan Penetapan eceran penetapanharga, yang berhasil. Para pengecer sering bisa menghasilkan uang meialui pembelian yang cermat, atau melalui penjualan yang cermat. Di luar ini, mereka harus menetapkanharga secarahati-hati dengan beberapamacam cara. Imbuhan harga yang rendah bisa dipasang dibeberapa barang sehingga barang-barang tersebut bisa berfungsi sebagai pembangunan niaga atau harga umpan dengan harapan bahwa para pelanggan akan membeli barang-barang yang lain yang mendapat imbuhan harga lebih tinggi, bila mereka sudah terlanjur ada dalam toko. Tambahan pula, manajemen penjualan eceran harus mahir melaksanakan kebijakan penurunan harga pada barang daganganyang perputarannya lamban.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan harga:

Tnlgetmarket(pasarsasaran). harus memperhatikan reaksi konsumen terhadap perubahan harga, karena konsumen kebanyakan peka terhadap perubahan Harga walaupun tidak banyak, sehingga akan mempengaruhi daya Beli ko.sumen. merlgantisipasi perubahan harga terhadap perubahan daya beli konsumen sehinggatidak terjadi penurunan penjualan.

Competition(persaingan).
Para konsumen cenderung membandingkan toko_toko eceran yang ada dan fakto harga kelihatannyamenjadi sebuahalat ukur perbandinganyang sangat popular. Dalam menetapkan harga karakteristiknya merlgantisipasi perubahan harga terhadap perubahan daya beli.

Pricingnt themnrket.
Penetapan harga sesuai dengan harga pasar dilakukan oleh para pengecer yang bermaksud memperlebar pasar mereka dengan penawarankualitas produk yang baik, harga yang cukup dan pelayanan yang penuh. Persaingan bukan hanya karena harga saja tetapi juga dipengaruhi oleh lokasi, pelayanan,merek, pengiriman, dan lain-lainnya.

Pricing above the market.
Penetapanharga diatas harga pasar biasanya dijalankan oleh toko-toko yang telah mempunyai reputasi yang tinggi. Toko dengan harga tinggi pelanggansesuatukeuntungan atau ekstra sebagaibalasanatas hargayang dibayarnya. harus menawarkan kepada Biaya barang dagangan salah satu faktor yang penting dalam penetapanharga, karena besarkecilnya biaya akan mempengaruhi besamya imbuhan harga yang ditetapkan dan semua biaya harus dibayar pada waktunya.