Rabu, 30 Desember 2009

tugas makalah ekonomi pembangunan

MAKALAH EKONOMI PEMBANGUNAN
POTRET KEMISKINAN
DI JAWA BARAT






DISUSUN OLEH:

NAMA : ROSSY ANDRIANA A.
NPM : 31208551
KELAS : 2DD03
DOSEN : NURHADI









UNIVERSITAS GUNADARMA
2009


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya yang telah di limpahkan sejak mencari ide, menyusun , hingga menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini tak akan terwujud tanpa pengarahan , bimbingan dan kerja sama semua pihak yang telah turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Untuk itu saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Allah SWT atas rahmat, karunia, dan hidayahNya sehingga saya diberikan kemudahan untuk menyelesaikan makalah ini
2. Kedua orang tua, yang telah memotivasi dalam menyelesaikan makalah ini.
3. Dosen mata kuliah pengantar ekonomi pembangunan Bapak Nurhadi yang telah memberikan arahan dan bimbingannya kepada saya .
4. Dan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan pembuatan makalah ini.

Saya menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, karena masih ada kekurangan dalam memberikan contoh kajian kontekstual. Oleh sebab itu, untuk perbaikan dan menyempurnakan makalah ini, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat di harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang berkepentingan, dan khususnya untuk para mahasiswa dapat menjadi referensi dalam pengembangan wacana bidang ekonomi.

Hormat saya


( Penyusun)





i

DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang penelitian 1
1.2 perumusan masalah 1
1.3 tujuan dan manfaat 1

BAB II KERANGKA TEORITIS
2.1 tinjauan pustaka 2
2.2 kerangka pemikiran 2
2.3 hipotesis 2

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 metode penelitian 3
3.2 variable dan pengukuran 3

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASA
4.1 deskripsi objek penelitian 4
4.2 Analisis data 5

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN 8
5.2 SARAN 9
DAFTAR PUSTAKA


ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang timbul dalam pembangunan bersama-sama dengan masalah pengangguran dan kesenjangan yang ketiganya saling kait mengkait. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, masalah kemiskinan semakin menjadi primadona sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 lalu. Kemiskinan menjadi semakin sering dibicarakan karena adanya peningkatan jumlah penduduk miskin yang cukup tajam yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tersebut. Kemiskinana di Indonesia sekarang ini telah menjadi suatu maslah nasional yang behkan pemerintahpun tengah mengupayakan usaha pengentasan penduduk Indonesia dari masalah kemiskinan
Kemiskinan adalah masalah yang mempunyai keterikatan terhadap maslah-masalah social di Indonesia. Sebagai contoh nya keluarga yang miskin mempunyai tingkat penghidupan dan kesehatan yang relative minim dibandingkan orang yang kehidupannya tercukupi,

1.2 PERUMUSAN MASALAH
• Mengapa kemiskina menjadi masalah di jawa barat
• Penyebab banyaknya warga miskin di jawa barat
• Perkembangan tentang jumlah kemiskinan di jawa barat

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan dan manfaat dari makalah yang saya susun adalah dengan adanya tindakan yang lebih terpadu dari pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia terutama di daerah jawa barat. Dan tidak menganggap remah maslah kemiskinan yang melanda Indonesia. Selain itu juga agar dapat diketahui dengan pasti jumlah atau data tentang warga miskin di daerah jawa barat serta tindakan apa saja yang telah di ambil pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasinya.

1

BAB II
KERANGKA TEORITIS

2.1 TINJAUAN PUSTAKA
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dapat dilihat bahwa krisis ekonomi telah ‘berhasil’ menghapus sebagian kerja pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan yang dilakukan selama lebih dari dua dasawarsa. Setelah berhasil menekan jumlah penduduk miskin dari 68 % pada tahun 1970 menjadi hanya 11% pada tahun 1996, angka tersebut disulap oleh krisis ekonomi menjadi 23,4% hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun (lihat grafik 1). Pada tahun 1999 jumlah orang miskin di Indonesia meningkat menjadi 47,9 juta orang. Dari jumlah tersebut sekitar 15,6 juta orang berada di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di perdesaan. Di samping itu, masih ada sekitar 25% penduduk Indonesia yang diperkirakan rentan terhadap kemiskinan. Hal ini berarti hampir separuh penduduk Indonesia dapat dikategorikan miskin atau rentan terhadap kemiskinan.

2.2 KERANGKA PEMIKIRAN
Berdasarkan banyaknya nilai atau tingkat pengangguran di masyarakat jawa barat maka dapat disimpulkan bahwa keadaan sosialnyapun juga tidak akan baik. pemerintah mengindikasikan masalah kemiskinan sebagai salah satu
masalah utama pembangunan nasional.


2.3 HIPOTESIS
Tingkat kemiskinan di jawa barat diakibatkan banyaknya penganguran dan kurangnya perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap masyarakat miskin di daerah sekitar jawa barat dan tingat kemiskinan masyarakat jawa barat meningkat pada tiap tahunnya.




2
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 METODE PENELITIAN
Metode peneliotian yang digunakan adalah metode survey secara langsung berdasarkan hasil data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) daerah jawa barat. Yang meliputi servey terhadap 16 kabupaten di jawa barat.

3.2 VARIABLE DAN PENGUKURAN
Dari 16 kabupaten di Jawa Barat Kabupaten Bogor , Kabupaten Ciamis, Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, dan Kabupaten cirebon,Kabupaten Garut,Kabupaten Sukabumi dan Karawang,Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Subang Kabupaten Indramayu kabupaten/kota lainnya. tingkat-tingkat kemiskinan suatu daerah ke dalam 4 klasifikasi derajat kemiskinan. Empat klasifikasi tersebut yaitu : klasifikasi rendah dengan nilai IKM kurang dari 10, klasifikasi menengah rendah dengan nilai IKM 10 – 25, klasifikasi menengah tinggi dengan nilai IKM 25 – 40, dan klasifikasi tinggi dengan nilai IKM lebih dari 40. serta diukur pula dengan menggunakan indikator kesehatan Balita Berstatus Gizi Kurang, indicator tingkat kematian, indikator pendidikan, indicator fasilitas kesehatan., Indikator akses terhadap prasarana dasar.











3
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
Kemiskinan adalah masalah yang mempunyai keterikatan terhadap maslah-masalah social di Indonesia. Untuk mengatasi masalah kemiskinan ini sendiri diperlukan suatu telaah yang cukup mendalam mengenai kondisi kemiskinan tersebut. Informasi-informasi yang akurat mengenai peta kemiskinan di suatu daerah akan menjadi landasan untuk melakukan suatu penelaahan yang kemudian akan menjadi input yang sangat penting dalam penetapan kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Salah satu informasi mengenai kemiskinan yang cukup komprehensif adalah Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Indeks ini dikembangkan oleh United Nations Development Programs (UNDP) yang sebelumnya sudah mengembangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM sendiri kemudian menjadi cukup populer dan dijadikan salah satu alat ukur kemajuan pembangunan di berbagai negara di dunia.
Indeks Kemiskinan Manusia dikatakan komprehensif karena di dalamnya merupakan komposit dari beberapa variabel-variabel yang mewakili indikator-indikator utama yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Indikator-indikator tersebut adalah kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi. Pemilihan indikator-indikator utama tersebut merupakan suatu bentuk penyederhanaan dari realitas yang kompleks untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif dari sedemikian luasnya dimensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan.
Variabel-variabel yang menyusun Indeks Kemiskinan Manusia ini adalah variabel-variabel yang dapat menunjukan tingkat kemiskinan dan dianggap paling mendasar. Variabel-variabel tersebut juga mencerminkan tiga faktor devriasi kemiskinan yaitu hidup singkat, pendidikan rendah, dan ketiadaan akses terhadap sumber daya dan fasilitas dasar,

4
yaitu 1) Penduduk Meninggal Sebelum Usia 40 Tahun (%) 2) Angka Buta Huruf (%) 3) Penduduk yang Tidak Memiliki Akses ke Air Bersih (%) 4) Penduduk yang Jarak Ke Fasilitas Kesehatan > 5 km (%) dan 5) Balita berstatus Gizi Kurang (%).
Dengan menjadikan variabel-variabel tersebut sebagai satu ukuran komposit tunggal, IKM ini mengartikan tingkatan status kemiskinan manusia di suatu wilayah. Tingkatan status kemiskinan tersebut bisa menjadi alat ukur yang berfungsi sebagai patokan dasar perencanaan jika dibandingkan antar waktu untuk memberikan gambaran kemajuan setelah suatu periode atau perbandingan antar wilayah untuk memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan suatu wilayah relatif terhadap wilayah lain.

4.2 ANALISIS DATA

Kemiskinan di Jawa Barat
Seperti halnya tingkat kemiskinan nasional, dalam lingkup propinsi Jawa Barat-pun tingkat kemiskinan mengalami peningkatan. Nilai IKM untuk pronpinsi Jawa Barat meningkat dari 26,3 pada tahun 1995 menjadi 26,9 pada tahun 1998. Selain peningkatan tersebut, yang lebih menyedihkan tingkat kemiskinan di Jawa Barat ternyata lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional yang mempunyai nilai IKM 25,2.
Dengan nilai IKM seperti itu, berdasarkan klasifikasi yang diberikan oleh UNDP, derajat kemiskinan penduduk Jawa Barat berada pada klasifikasi menengah tinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat kemiskinan penduduk Jawa Barat relatif masih tinggi dan tentunya diperlukan kerja keras untuk mengentaskannya.
Klasifikasi yang dikeluarkan oleh UNDP sendiri membagi tingkat-tingkat kemiskinan suatu daerah ke dalam 4 klasifikasi derajat kemiskinan. Empat klasifikasi tersebut yaitu : klasifikasi rendah dengan nilai IKM kurang dari 10, klasifikasi menengah rendah dengan nilai IKM 10 – 25,



5
klasifikasi menengah tinggi dengan nilai IKM 25 – 40, dan klasifikasi tinggi dengan nilai IKM lebih dari 40.
Kabupaten/kota di Jawa Barat sebagian besar tergolong dalam klasifikasi menengah tinggi, yaitu sebanyak 14 kabupaten/kota dari 22 kabupaten kota yang ada atau sekitar 67 %. Sedangkan sisanya sebanyak 7 kabupaten/kota berada pada klasifikasi menengah rendah. Meskipun tidak ada kabupaten/kota yang tergolong berderajat kemiskinan tinggi, akan tetapi juga tidak ada satupun kabupaten/kota yang berderajat kemiskinan rendah (lihat grafik 1). Dengan komposisi seperti itu bisa dikatakan bahwa tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Jawa Barat secara relatif hampir sama.
Dari nilai IKM kabupaten/kota di Jawa Barat, masih terindikasikan bahwa daerah perdesaan yang direpresentasikan oleh daerah kabupaten masih menjadi konsentrasi penduduk miskin. Kenyataan tersebut terlihat dari mayoritas kabupaten yang berada pada klasifikasi menengah tinggi. Dari 16 kabupaten di Jawa Barat, hanya 3 kabupaten yang berada pada klasifikasi menengah rendah. Itupun dengan catatan untuk Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis mempunyai nilai yang hanya 0,1 di bawah klasifikasi menengah tinggi, yaitu mempunyai nilai indeks 24,9. Satu kabupaten lainnya dalam klasifikasi ini yaitu Kabupaten Bekasi dengan nilai indeks 21,4.
Sebaliknya untuk daerah-daerah dengan predikat kota mayoritas berada pada klasifikasi menengah rendah. Hanya Kota Bogor yang berada pada klasifikasi menengah tinggi dengan nilai indeks 26,1.
Dari analisis indikator dan variabel peyusun IKM dapat dilihat untuk indikator kesehatan kabupaten/kota yang mempunyai indikasi kesehatan paling buruk di Jawa Barat adalah Kabupaten Majalengka, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Cirebon. Untuk variabel Penduduk Meninggal Sebelum Usia 40, Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Karawang mempunyai persentase yang paling besar, yaitu masing-masing sebesar 26,9 % untuk Kabupaten Garut dan 21,7 % untuk Kabupaten Sukabumi dan Karawang. Sedangkan untuk variabel Balita Berstatus Gizi Kurang,


6
Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Subang merupakan kabupaten yang mempunyai persentase bayi berstatus gizi kurang paling besar, yaitu sebesar 37,3 % dan 34,8 %.
Untuk indikator pendidikan yang direpresentasikan oleh variabel angka buta huruf, Kabupaten Indramayu tercatat sebagai kabupaten yang penduduknya paling banyak belum bisa baca tulis. Sekitar 33,3 % penduduk Kabupaten Indramayu dinyatakan masih buta huruf. Setelah Kabupaten Indramayu kemudian Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Cirebon yang mempunyai penduduk buta huruf terbanyak, masing-masing sebanyak 15,2 %, 13,8 %, dan 13,4 %. Dari angka-angka tersebut terlihat perbedaan yang cukup jomplang antara Kabupaten Indramayu dengan kabupaten/kota lainnya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa sektor pendidikan di Kabupaten Indramayu perlu mendapat perhatian yang besar.
Indikator akses terhadap prasarana dasar menunjukkan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bekasi sangat buruk dalam penyediaan air bersih. Sekitar 80 % penduduk Kabupaten Tasikmalaya dan 74,9 % penduduk Kota Bekasi kesulitan untuk mengakses air bersih. Sementara 55,9 % penduduk Kabupaten Cianjur dan 34,6 % penduduk Kabupaten Sukabumi kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan.
Adapun jika dilhat dari nilai komprehensif IKM, kabupaten/kota yang mempunyai tingkat kemiskinan paling tinggi adalah Kabuapten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Karawang. Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai nilai IKM paling rendah adalah Kota Cirebon, Kota Bandung, Kota Sukabumi, dan Kota Bekasi.








7
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan penelaahan terhadap nilai indeks kemiskinan manusia di atas, kabupaten/kota di Jawa Barat bisa melihat tingkat kemiskinan di daerahnya masing-masing relative terhadap daerah lain. Disamping itu, juga bisa melihat pada variabel apa daerah tersebut mempunyai nilai yang sangat rendah sehingga perlu perbaikan yang mendesak.
Memang, IKM hanya salah satu bentuk simplipikasi dari berbagai dimensi kemiskinan yang sangat kompleks. Meskipun demikian, hasil dari IKM ini semoga bisa menjadi indikasi atau gambaran awal bagi daerah dengan harapan masing-masing daerah bisa melakukan instropeksi untuk selanjutnya bisa menjadi motivasi untuk bekerja lebih keras dalam mengentaskan masalah kemiskinan ini.
kota yang mempunyai tingkat kemiskinan paling tinggi adalah Kabuapten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Karawang. Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai nilai IKM paling rendah adalah Kota Cirebon, Kota Bandung, Kota Sukabumi, dan Kota Bekasi.
Variabel-variabel yang menyusun Indeks Kemiskinan Manusia ini adalah variabel-variabel yang dapat menunjukan tingkat kemiskinan dan dianggap paling mendasar. Variabel-variabel tersebut juga mencerminkan tiga faktor devriasi kemiskinan yaitu hidup singkat, pendidikan rendah, dan ketiadaan akses terhadap sumber daya dan fasilitas dasar, yaitu 1) Penduduk Meninggal Sebelum Usia 40 Tahun (%) 2) Angka Buta Huruf (%) 3) Penduduk yang Tidak Memiliki Akses ke Air Bersih (%) 4) Penduduk yang Jarak Ke Fasilitas Kesehatan > 5 km (%) dan 5) Balita berstatus Gizi Kurang (%).





8
5.2 SARAN

Saran yang ingi saya sampaikan adalah terutama untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk lebih mengawasi dan lebih serius dalam menanggulangi masalah kemiskinan di daerah jawa barat ini. Karena kemiskinan dapat menimpulkan banyak dampak buruk bagi masyarakat dan pemerintah. Dampak yang dapat kita lihat dari masalah kemiskinan ini diantaranya tingginya angka kematian, tingkat pendidikan yang rendah, banyaknya buta huruf dan tingkat kesehatan dan kebersihan masyarakat yang rendah. Maka harusnya disediakan sarana umum dari pemerintah untuk masyarakat yang tidak mampu mulai dari subsidi sembako dan masalah pelayanan kesehatan pendidikan dengan kapasitas kemampuan warga miskin.




















9
DAFTAR PUSTAKA

• www.Google.com
• Harian Umum Pikiran Rakyat
• Badan Pusat Statistik (BPS)
• www.Yahoo.com

Kamis, 24 Desember 2009

economic challanged of zambia

“There are several economic challenges. Among them is a lack of diversification. Copper represents about ninety per cent of the country’s export revenue. Miracles do not just happen in economics; they are caused. Planning plays a very big role. Planning from a lame vantage, however, can be very frustrating.
A nation can borrow all it can, but if it does not produce, it is only postponing trouble. I reason that is why the wealth of nations is measured in productivity terms – GDP. The key word is “product.” Diversification means multiplying productivity. It means lessening dependence on only one means of production and expanding the reserves
Government should not guarantee the equality of results. It should do everything possible to guarantee every citizen an equal chance to participate in the economic marketplace. The economy must be constructed on free markets model – where firms and households, and not government, determine the market activities by their interaction in the marketplace. Prices and self-interest should guide the firms and households’ decisions and not government. This will lead to efficiency as will be in the position to get the most she can from her scarce resources.
The role of government economy should be to ensure equity. Government should create a level playing field for all competing in the marketplace. It can do this by enacting legislation, setting out regulations and developing policy that ensure equitable competition and fair play.


Inflation Challenge

Absence of productivity leads to economic problems. The biggest of these is inflation. Inflation not surprisingly is also defined in production terms as the rapid rise in prices caused by an inadequate supply of goods and services. Inflation arises from a decline in the purchasing power of the money. As a result government is tempted to print more money leading to an increase in the overall level of prices in the economy.
In simple economic terms, this means that total demand exceeds supply. This is a productivity issue. It simply means that there is less than what is required. The problem is in government’s rush to print more money or borrow more thereby compounding the inflation problem further instead of curbing it.
Emerging leaders will have to address the inflation challenge head on. High inflation imposes various costs on the society. Keeping inflation at low levels should be a goal of the emerging leaders.
In strong economies such as the ones China, the US, Germany, Canada and Japan have, sometimes there could be a short run tradeoff between inflation and unemployment. The printing of more money may lead temporarily to the creation of employment. However, in the case where inflation has existed for far too long, inflation is a menace. This calls for government to employ various policy instruments of monetary and fiscal policy such as spending, tax cuts, and so on, to control the economy.

Debt Burden

The complexity of the economic system is compounded further by a large foreign debt at US $4.4 billion (2006) which needs to be serviced and an insurmountable public debt which has paralyzed all efforts at redeeming the economy. Pegged at 65 per cent, public debt denies the proper running of the economy.
Sometimes we have lambasted the bilateral and multilateral agreements for our debts. What we forget is that the borrower is always a slave of the lender! When we borrow, we empower the lending institutions to control us. The Highly Indebted Poor Countries Initiative (HIPC) may seem like an ideal initiative now, but why don’t we avoid both the shame of being categorized as highly indebted and poor, and begin to be the lenders instead?
We cannot achieve national dignity if we continue to borrow, and expect debt forgiveness. HIPC, introduced in 1996, is not a bad idea if its purpose is to help us stop further begging. HIPC necessitates a threshold benchmark which in turn facilitates debt reduction of up to over 60 per cent. In lieu of HIPC and related initiatives, we must strive to produce and invest so that we prevent the embarrassment of being always at the receiving end.
Foremost was the initial failure to diversify economic activities away from the mining industry. This subjected the national economy to the vagaries of steep decreases in copper prices and production levels.
Secondly, the unprecedented Likes in petroleum prices by the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) in 1973-1974 and 1979-1980 resulted in a sharp rise in the price of imported oil which essentially drained the public treasury.
Thirdly, the socialist policies espoused by UNIP barred both local and foreign private investors from certain commercial and industrial sectors of the country's economy and recommended the creation of state and parastatal companies to operate in such sectors of the economy from the late 1960s to 1991.
The monopolistic position enjoyed by both state and parastatal companies in the country’s economy culminated in complacence and gross inefficiency because, in the absence of competition, government found it unnecessary to seek innovative ways and means of improving the quality and quantity of production output.
This led to the rampant commodity shortages during the Second Republic. Coupled with this was the UNIP government’s postponement of the macro-economic adjustment — which would have enabled to create a competitive and more productive socioeconomic system.
The moneys we borrow come with strings attached. What we call conditionality is nothing but a safeguard. Safeguards are necessary for business survival. In Africa we think that we can borrow and still be free. That’s a ruse. The IMF only helps countries that are facing serious financial difficulties in paying for their imports or repaying loans. Imports are goods and services we buy from outside.
IMF comes in when we fail to repay the loans we get. Some people blame the IMF for the economic problems.That’s not being realistic. After all, if our governments never borrowed (or if we borrowed and invested wisely), we would not be affected in any way by the IMF conditions.
In relation to production, we are mainly talking about agriculture and manufacturing. Agriculture or farming produces raw materials which industries use to make finished products. Recognizing this, the Bretton Woods created the World Bank which provides low-cost, long-term loans to less developed countries to develop basic industries and facilities, such as roads and electric power plants. So far the World Bank has fulfilled its obligation and should be commended. Onus is on affected governments to channel the loans to their intended projects.
The government cannot be sequestered from the IMF or the World Bank. It should instead work with these institutions if is going to successfully overcome its enormous economic challenges. Rule of thumb is in reinvesting what is procured from these institutions in infrastructure development and employment creation.

Balance of Payment Deficits

Production leads to export spurts. In balance of trade terms, the more we export the better. Exporting more goods and services and decreasing imports has explained why despite having constant deficit in its current account, the United States continues to be the richest nation on earth.
When a country buys more goods and services made abroad than it sells to foreigners that country will have balance of payment deficit. A country cannot continue to buy more than it sells indefinitely. This scenario has led to the inability to pay bills and to limited international trade.
This state of affairs has also led in part to the frequent restrictions on the outflow of the Kwacha and the inactivity of foreign businesses in the country. When that happens we run to the IMF. In balance of trade, what matters is production. The nation that produces wins no matter on what terms or conditions!










Investing in Investment

Conventional wisdom teaches that consuming more than you produce may lead to deficit. The credit crunch of 2008 which led to the global economic recession in the United States was partly caused by greed – people consumed more than they earned.
The emerging leaders should learn an economic lesson from recent history. If the 21st century is to be different from that of yesteryear's, there should be concerted effort to produce, invest in infrastructural development, education and health-care while at the same time educating both the government and the citizenry to live within their means.
The current economic picture may be bleak, but her future is promising. To unlock our nation’s economic potential I submit the following: Government should both cut taxes and spend on major infrastructural development. Tax cuts, and even tax holidays, will give tax payers enough purchasing power and thus avoiding the temptation of printing more money which leads to inflation.
In adhering to free market economics, government should reduce tax rates on capital. This will encourage business investment and the creation of well-paying jobs. When the highest tax burden falls on business investment, employment creation suffers.